MEDAN, GenUI.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Pencegahan Korupsi dan Peningkatan Dimensi Pengalaman pada Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di Kantor Gubernur Sumatera Utara, Selasa (25/7/2023).
Rakor membahas persoalan korupsi, pungutan liar (pungli) yang sampai hari ini masih menjadi persoalan besar yang dihadapi bangsa, termasuk di Sumatera Utara (Sumut).
Korupsi masih terus menggerogoti negara. Sementara pungli terus menyiksa rakyat. Dua bentuk kejahatan yang dilakukan para penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan tersebut ada di sekeliling.
"Para pelaku tidak perduli siapa korbannya, apakah orang miskin atau orang kaya, mereka tak perduli," ucap Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar dalam rakor tersebut.
Hadir pada Rakor ini Kasatgas Korsupgah KPK Maruli Manurung, Sekda Provinsi Sumut Arief Trinugoho, Inspektur Provinsi Lasro Marbun dan mewakili 8 Pemda se Sumut.
Abyadi mengatakan, prilaku koruptif ini membuktikan masih buruknya perilaku para penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan. Perilaku mereka sama sekali tidak anti korupsi dan pungli, tapi justru perilaku doyan korupsi dan pungli.
Memang harus diakui, kata Abyadi, ada juga para penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan yang berperilaku baik, anti korupsi dan pungli.
"Tapi, juga sangat banyak perilaku yang doyan korupsi dan pungli. Malah rakus korupsi dan pungli. Dan, kelompok inilah yang menggerogoti negara dan menyengsarakan rakyat. Mereka juga yang membuat pelayanan publik menjadi kotor," tegasnya.
Sebagai lembaga negara pengawas penyelenggara pelayanan publik, lanjut Abyadi, selama ini Ombudsman sangat banyak menerima keluhan atau pengaduan dugaan korupsi dan pungli di Sumut.
Dugaan korupsi dana desa misalnya. Itu begitu banyak disampaikan ke Ombudsman. Begitu juga praktik pungli, juga sangat banyak. Di sektor pendidikan, layanan kependudukan, layanan perizinan, layanan hukum, dan sebagainya.
Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, Ombudsman juga menangani laporan dari para guru honorer yang akan menjadi calon PPPK. Mereka diminta uang hingga Rp 30 juta per orang, agar bisa mendapatkan surat permohonan rencana penempatan (SPRP) dari Disdik sebagai syarat diangkat jadi PPPK.
"Beruntung kasus itu bisa dihentikan, setelah Ombudsman berkoordinasi dengan Polda Sumut. Masih banyak kasus kasus serupa yang terjadi. Sementara para korban tidak berdaya. Mereka tidak berani melapor karena takut akan dipecat atau dijatuhi sanksi oleh atasannya," kata Abyadi.
Para pelaku pungli sangat tidak memiliki empati. Karena itu, Abyadi mengatakan, rapat koordinasi dengan KPK dan Pemprov sangat penting. Tapi ia berharap tak hanya sekadar rapat koordinasi seremonial saja.
"Karena bisa saja, para pelaku pungli itu kini tertawa melihat rapat koordinasi pencegahan korupsi dan pungli ini. Karena mereka akan terus membuat cara lain dengan berbagai modus untuk melakukan kejahatan pungli dan korupsi," imbuhnya.
"Karenanya saya berharap, rapat koordinasi ini menghasilkan rencana rencana aksi nyata yang bisa menghentikan kejahatan korupsi dan pungli. Biar ada efek jera kepada para pelaku," tandas Abyadi.(red)